Jalan Memuhammadkan diri
Rabiul Awwal adalah bulan kelahiran Nabi Muhammad Saww.
Mengenai tanggal kelahirannya yang persis terdapat dua pendapat : pertama,
pendapat dari Ahlussunnah yang meyakini bahwa Nabi Saww lahir pada 12 Rabiul
Awal; kedua, pendapat dari Ahlul Bait Nabi yang menyatakan Nabi Saww lahir pada
17 Rabiul Awwal. Di Iran, untuk menyatukan kedua pendapat tersebut diadakan Pekan Persatuan yang dimulai dari 12-17
Rabiul Awwal di mana selama kurun waktu tersebut kaum Muslimin di sana mengadakan
perayaan Maulid Nabi Saww tercinta.
Memperingati kelahiran Nabi Saww
– ataupun Para Imam Ahlul Bait as – tentu saja merupakan suatu tindakan
kebajikan. Akan tetapi, peringatan demi peringatan itu sendiri tak pelak lagi
merupakan pengingkaran terhadap tujuan dari peringatan Maulid itu sendiri.
Memang, terdapat suatu kesulitan untuk mengukur seberapa jauh efektivitas serta
pengaruh dari pelaksanaan Maulid Nabi terhadap amal perbuatan kita sebagai kaum
Muslimin. Karena untuk bisa meneladani secara total akhlak Nabi Saww jelaslah
bukan suatu gerakan dan perubahan sehari-dua hari.
Baca Juga : Menolak Poligami bukan alasan melindungi wanita
Baca Juga : Menolak Poligami bukan alasan melindungi wanita
Tapi,
marilah kita coba memandang peristiwa
Maulid Nabi Saww dari salah satu
aspeknya yakni : kemampuan empatik. Salah satu akhlak Nabi Suci Saww adalah kemampuan tersebut. Dalam psikologi,
kemampuan empatik adalah kemampuan untuk menempatkan perasaan sendiri terhadap
perasaan yang dialami oleh orang lain. Lebih dari sekadar sikap simpatik.
Dalam sikap empatik, ego
seseorang sudah melebur dan bersenyawa dengan perasaan orang lain. Apa yang
dirasakan oleh orang lain akan ia coba masukkan ke dalam hatinya sehingga
dengan sikap serta kemampuan empatik tersebut orang yang menjadi sasaran empati
kita semakin mencintai kita.
Salah satu contohnya adalah
sebuah riwayat yang disampaikan oleh Anas bin Malik : “Rasulullah Saww pernah mendengar tangisan seorang bayi, sementara beliau sedang melakukan
shalat (berjamaah). Beliau pun sengaja membaca surat pendek dan ringan.
“Selesai shalat, beliau ditanya
: ‘Wahai Rasulullah, kenapa Tuan meringankan shalat pada hari ini ?’
“Beliau menjawab : ‘Sesungguhnya
aku mendengar suara tangisan seorang bayi, dan aku khawatir ibunya gelisah.’ (Para Pemuka Ahlul Bait Nabi,
jilid 1, hal. 75-76).
Atau, simaklah pembicaraan
antara Akhnaf bin Qais dengan Mu’awiyah – seterunya Imam Ali as – perihal sikap dan perilaku empatik dari Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib.
Akhnaf bin Qais bertutur kepada kita : “Saya menemui
Mu’awiyah, dan disuguhkan kepadaku manisan dan makanan-makanan lezat yang belum
pernah aku lihat selama ini. Kemudian Mu’awiyah berkata pula kepada
pembantunya, ‘Ambilkan makanan anu.’ Mereka kemudian menyuguhkan sejenis
makanan yang aku tidak tahu apa namanya. Karena itu, aku bertanya, ‘Apa ini ?’
“Mu’awiyah menjawab, ‘Ini adalah
paha itik dan otak yang dibumbui fistaq dicampur anggur.’
Melihat itu, aku pun menangis.
Mu’awiyah bertanya kepadaku, ‘Apa yang membuatmu menangis ?’
‘Apa itu ?’ tanya Mu’awiyah.
‘Suatu malam, ‘ kata Akhnaf, ‘
aku berada di rumah Ali bin Abi Thalib ketika mereka sedang makan. Kemudian Ali
bin Abi Thalib berkata kepadaku, ‘Ayo makanlah bersama Al-Hasan dan Al-Husain.’
Lalu beliau berdiri beranjak untuk
shalat. Dan ketika selesai shalat, beliau minta diambilkan wadahnya yang
tertutup rapat. Dari dalamnya beliau mengambil sepotong tepung kering, lalu
menutupnya kembali.
“Aku bertanya, ‘Ya Amirul
Mukminin, mengapa Anda demikian ‘bakhil’ dengan cara menyimpan makanan seperti
ini ?’
“Aku menyimpannya rapat-rapat
bukan karena bakhil, tapi takut kalau-kalau Al-Hasan dan Al-Husain
mencampurinya dengan minyak atau lauk pauk mereka, ‘ jawab beliau.
‘Apakah minyak itu haram ?’
tanyaku pula.
‘Tidak, tapi adalah kewajiban bagi para pemimpin umat
untuk hidup dengan makan makanan dan mengenakan pakaian seperti rakyatnya yang
paling melarat. Dengan itu orang-orang miskin melihat dirinya tidak berbeda
dari mereka [pemimpin], sehingga mereka ikhlas menerima apa yang diberikan
Allah. Sedangkan orang-orang yang kaya bisa melihatnya pula, dan mereka akan
menjadi lebih bersyukur dan tawadhu’ terhadap kekayaan yang mereka miliki.’” (Para Pemuka Ahlul Bait Nabi, jilid 2,
hal. 36-37.)
Baca Juga: Perlukah menghormati ibadah rahasia ( Puasa ) ?
Baca Juga: Perlukah menghormati ibadah rahasia ( Puasa ) ?
Dari dua riwayat tadi dapat
disimpulkan bahwa sikap dan perilaku empati telah dicontohkan oleh
pribadi-pribadi suci. Tak perlu kita persoalkan apakah sikap itu dilakukan oleh
Nabi Muhammad Saww ataukah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. Karena pada
hakikatnya dua pribadi itu adalah satu. Bahkan pada para pemimpin sejati selain
mereka berdua dari kalangan Ahlul Bait
menampilkan sikap serupa.
Sejarah menceritakan kepada kita
bagaimana Imam Ali Zainal Abidin senantiasa membawa makanan untuk orang-orang
miskin di malam hari. Dan, orang-orang itu
tidak tahu siapa pengirim makanan tersebut kepada mereka. Mereka baru
tahu kemudian ketika setelah wafatnya Imam Ali Zainal Abidin, mereka tidak
mendapatkan bantuan makanan lagi. Ini diperkuat pula dengan adanya bekas-bekas
pikulan pada punggung Imam. Di sini kadar empati sudah sangat tinggi sampai
pada pemberdayaan pada orang-orang tak mampu.
Dunia modern tampaknya sudah
kehilangan figur-figur teladan semacam itu. Bahkan di sebagian kalangan Muslim
jangankan untuk meneladani figur-figur semacam itu, baru mengadakan
peringatan momen-momen penting dari
tokoh-tokoh sejarah tersebut, misalnya peringatan kelahiran dan kematian
mereka, vonis bid'ah ataupun kata haram sudah telanjur dikeluarkan. Jelas
hal itu bisa beresiko pada krisis identitas. Pada gilirannya umat akan
kehilangan tokoh panutan ideal. Dulu
tabloid Monitor pernah mengadakan kuis siapa tokoh
favorit para pembaca. Ternyata hasil kuis tersebut menunjukkan bahwa Nabi
Muhammad hanya berada pada peringkat
ke -11. Pro-kontra pun segera bermunculan terhadap hasil kuis yang pada
gilirannya pemimpin redaksi tabloid tersebut, Arswendo Atmowiloto,
dipenjarakan.
Namun ditilik dari jendela bidik
lain, bisa jadi ini menunjukkan bahwa memang betul tokoh-tokoh teladan agama
dan kemanusiaan ini sudah jauh dari altar aktivitas sehari-hari masyarakat
[Muslim] Nabi Muhammad - ataupun tokoh suci lainnya - telah tergeser
kedudukannya dan digantikan oleh pemimpin partai politik, pengusaha ternama,
artis dan selebritis, ataupun tokoh-tokoh temporer lainnya yang kerap muncul
pada tabung ajaib TV, media cetak, internet dan seterusnya. Kita jarang
menemukan seorang Muslim di dunia modern mengatakan Nabi Muhammad adalah tokoh
idolanya. Mereka barangkali akan menyebutkan orang-orang yang sering muncul di
stasiunTV, surat kabar, dan yang lainnya.
Dalam tulisan lain, penulis
pernah menyebutkan bahwa penting bagi seorang Muslim untuk memiliki idola yang
bisa diteladani kesempurnaan hidupnya.
Karena dengan memiliki idola berarti dia akan berusaha untuk bisa menjadi atau
seperti idola yang ia cintai. Meminjam istilah Erich Fromm, Muslim yang ideal
bukan sekadar "to have" Muhammad, tapi juga seyogyanya "to
be" Muhammad. Sehingga, yang
menjadi atasan semestinya berempati kepada bawahannya yang sudah megap-megap
menghadapi kesulitan hidup untuk menafkahi keluarganya karena ingat dan ingin menjadi
Muhammad; yang berlebih hartanya juga semestinya berempati kepada orang
yang membutuhkan atau tidak mampu karena ingat Muhammad yang sering bersedekah kepada
fakir miskin sewaktu beliau punya kelebihan harta; seorang miskin juga bersikap
sabar dan tidak merendahkan dirinya di hadapan yang lain karena ingat Muhammad yang pernah mengikatkan
batu-batu di sekeliling perutnya guna menahan lapar ; yang menjadi kepala
keluarga juga semestinya berempati kepada anggota keluarganya karena ingat Muhammad yang senantiasa
menunjukkan kasih sayang kepada puterinya, Fathimah serta cucunya Hasan-Husain;
yang menjadi pemimpin agama, entah itu kyai, ajengan, ataupun ustadz semestinya cermat dan punya kepekaan sosial
terhadap kondisi sekitarnya siapa tahu ada jemaah mereka yang mati kelaparan
(baik "lapar biologis" ataupun
"lapar meta-biologis") di pesantren mereka sendiri. Bukankah Nabi
senantiasa mengiringkan kalimat "berimanlah kalian kepada Allah"
dengan kalimat "dan berilah makan kaum miskin" ? Demikian pula para
isteri pemimpin agama, kyai, ajengan ataupun ustadz semestinya menampilkan
sikap empatik yang sama dengan tidak menampilkan sikap glamour, tabarruj yang
bisa menyebabkan kecemburuan sosial pada masyarakat sekitarnya karena ingat Muhammad yang marah besar terhadap
Fathimah yang memakai perhiasan di saat kaum Muslimin berkekurangan.
Baca Juga : 4 Cara agar shalat tidak wajib
Walhasil, setiap Muslim wajib me-muhammad-kan
dirinya dengan memasuki berbagai pintu.. Dan sikap empati berikut implikasi
praktisnya merupakan salah satu dari pintu tersebut. Wallahu a’lam bishawwab.[] (arifmulyadi)